Headline-news.id Jakarta Minggu 25 Desember 2022; Publik Kini tidak akan lagi segan memberikan gelar kepada Presiden Joko Widodo sebagai “Raja Utang” lantaran utang Indonesia semakin membengkak dan tidak terbentung. Kini angka utang bahkan sudah melebihi 30 persen PDB saat ini.
Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam mengatakan, utang yang semakin membengkak membuat publik menganggap bahwa Presiden Jokowi kurang ajar dengan mengkhianati perjuangan Soekarno yang anti imperialisme dan kolonialisme.
“Soekarno sangat jelas menolak adanya dominasi asing di Indonesia, sampai-sampai menyatakan secara terbuka penolakannya terhadap membanjirnya dolar di Indonesia,” ujar Saiful, Minggu Petang ini (25/12).
Kondisi tersebut kata Saiful, berbeda dengan saat ini, di mana utang pada era pemerintahan Jokowi semakin membengkak, maka hal tersebut sangat bertolak belakang dengan garis perjuangan Soekarno yang anti-asing.
“Tidak hanya itu, jumlah utang yang besar juga dapat dikatakan mengkhianati keinginan dan aspirasi rakyat yang menginginkan adanya utang semakin berkurang bahkan dapat segera diselesaikan,” kata Saiful.
Dengan kondisi itu kata akademisi Universitas Sahid Jakarta ini, maka apabila dihubungkan dengan PDB Indonesia, maka sudah tentu utang per 30 November sebesar Rp 7.554,25 triliun sudah melebihi 30 persen dari PDB saat ini.
“Ini tentu sangat berbahaya bagi bangsa dan negara,” tegas Saiful.
Karena kata Saiful, semakin banyaknya utang, maka akan semakin membebani masyarakat yang pada akhirnya harus menanggung bebang utang yang diwariskan oleh pemerintahan Jokowi.
“Dengan kondisi itulah maka bisa jadi publik tidak segan-segan untuk memberikan gelar kepada Jokowi sebagai ‘Raja Utang’ karena nilainya yang terus tidak terbentung bahkan melebihi 30 persen PDB saat ini,” pungkas Saiful.
Utang RI Naik Lagi! Sekarang Tembus Rp 7.554 T.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah per 30 November 2022 sebesar Rp 7.554,25 triliun.
Jumlah itu naik Rp 57,55 triliun jika dibandingkan posisi utang bulan sebelumnya yang sebesar Rp 7.496,7 triliun.
Dengan begitu rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) naik menjadi 38,65% per November 2022.
Kemenkeu mengklaim rasio utang masih aman karena masih jauh dari batas maksimal yang ditentukan dalam undang-undang yang mencapai 60% dari PDB.
Utang pemerintah terdiri atas dua jenis yakni berbentuk surat berharga negara (SBN) dan pinjaman.
Mayoritas utang pemerintah didominasi oleh instrumen SBN yang kini mencapai 88,66% dan sisanya pinjaman 11,34%.
Diketahui SBN sebanyak Rp 6.697,83 triliun. Terdiri dari SBN domestik yang meningkat menjadi Rp 5.297,81 triliun dan valuta asing juga melonjak jadi Rp 1.400,02 triliun.
Sedangkan untuk pinjaman senilai Rp 856,42 triliun. Terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 17,52 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 838,90 triliun.
Berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi oleh mata uang domestik (rupiah) yaitu 70,36%.
Tercatat kepemilikan investor asing terus menurun sejak 2019 yang mencapai 38,57%, hingga akhir 2021 tercatat 19,05% dan per 15 Desember 2022 mencapai 14,64%.
“Langkah ini menjadi salah satu tameng pemerintah dalam menghadapi volatilitas yang tinggi pada mata uang asing dan dampaknya terhadap pembayaran kewajiban utang luar negeri,” tuturnya.
Per 31 Oktober 2022, realisasi pembiayaan utang mencapai Rp 510,22 triliun.
Rinciannya terdiri dari SBN (Neto) sebesar Rp 504,28 triliun dan realisasi Pinjaman (Neto) sebesar Rp 5,94 triliun.
“Pembiayaan utang dikelola dengan prudent, fleksibel dan terukur dalam mendukung kelanjutan penanganan COVID-19 dan program dana PEN, serta dalam menghadapi dampak dan risiko global lainnya,” pungkasnya.
(Red/Tim-Biro Pusat Headline-news)