Situbondo Jatim 10 Oktober 2022: MELAWAN LUPA. Sejarah Pada bulan Oktober, tepatnya pada Kamis tanggal 10 Oktober 1996 Tepatnya 26 Tahun Lalu. terjadi sebuah kerusuhan yang tidak mudah dilupakan oleh Seluruh Elemen-elemen masyarakat Kabupaten Situbondo. Kerusuhan tersebut berawal ketika massa tidak puas dengan keputusan hakim terhadap terdakwa Saleh yang melakukan penghinaan agama. Kerusuhan tersebut kemudian berlanjut dengan pengrusakan serta pembakaran gedung Pengadilan Negeri Situbondo, gereja Bethel Indonesia Bukit Sion serta gereja-gereja lain di Besuki, Panarukan, Asembagus dan Banyuputih.
Kerusuhan tersebut merupakan rekayasa politik di Akhir Akhir Menjelang ORBA Tumbang Hal itu Diduga demi melemahkan organisasi NU Situbondo menjelang Pemilu 1997 Walau Kajian Dan Analisisa Tersebut masih Perlu dilakukan Kajian Mendalam.
Walau,dugaan kerusuhan itu direkayasa untuk mendiskreditkan Gus Dur sebagai pemimpin NU sukar dibuktikan. Menurut Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2017), Gus Dur menerima banyak ejekan ketika melontarkan dugaan itu. Tetapi, pendukungnya di Jawa Timur memercayai kemungkinan tersebut.
Meskipun begitu, Gus Dur juga sempat menengarai kekerasan atas nama agama itu direkayasa. Tujuannya untuk mendiskreditkan dirinya karena tak mampu mengontrol pengikutnya. Sama belaka dengan teror yang menimpa Megawati saat meletus kerusuhan 27 Juli atau bisa disebut Kudatuli.
Beberapa hari setelah kerusuhan, Gus Dur mendatangi Situbondo untuk meninjau dampak kekerasan tersebut. Ia secara khusus meminta maaf kepada umat Kristen. Ia mendorong masyarakat Kristen dan Islam untuk berkomunikasi lebih intensif guna mencegah kerusuhan serupa terjadi lagi.
“Anda kehilangan sejumlah gereja yang indah tapi Anda memperoleh sesuatu yang lebih berharga, yaitu hubungan yang kalian punyai antara satu sama lain,” pesan Gus Dur kepada pemuka Islam dan Kristen Situbondo ( hal itu bisa dilihat dalam hlm. 288).
Ada pula Beberapa sumber mengatakan bahwa pokok persoalan tersebut berawal dari debat dua tokoh agama yang hingga membawa dendam antar pengikut mereka ada juga yang meyebutkan pokok awal permasalahan terebut berawal dari perbedaan akidah pembelajaran islam individu dalam keluarga salah satu tokoh agama.
Saleh dan KH. Zaini merupakan nama utama yang muncul dalam persoalan konflik dan awal cikal bakal Kerusuhan ini. Yang mana Saleh ini juga merupakan saudara sepupu KH.Zaini, banyak yang mengatakan ketika KH.Zaini melakuakan pengajian di masjid sekitar, Saleh mencoba mencari kebenaran dalam dakwah yang di terangkan oleh KH.Zaini.
Perdebatan argumen antara Saleh dan KH.Zaini tak bisa dipungkiri hingga dalam salah satu argumen Saleh yang kontroversional dia mengatakan apa yang dikatakan KH. Zaini sebuah ketidakbenaran karena dianggapnya guru dari KH. Zaini yaitu KH. As’ad merupakan seseorang yang membelokan pembelajaran agama Islam dari akidah sebenarnya.
Perdebatan itu tidak selesai hanya pada malam itu saja bahkan perdebatan antara kedua orang tersebut menyebar dari mulut ke mulut ke seluruh masyarakat kota Situbondo hingga terdengar juga oleh keluarga besar KH. As’ad yang ada di pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus Situbondo.
Mendengar kata KH. As’ad telah dianggap memberikan akidah yang kurang baik terhadap pembelajaran Islam sontak membuat keluarga abdi dalam pondok tidak terima hingga melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian dengan dugaan pencemaran nama baik. KH. As’ad yang merupakan ulama besar yang berada di Situbondo yang notabene putra dari KH.Syamsul Arifin ini merupakan tokoh yang sangat dihormati khususnya di Kabupaten Situbondo.
Nah lalu Proses pengaduan dugaan pencemaran nama baik itu pun menuju pada persidangan di Pengadilan Negeri di Situbondo. Hingga Saleh terbukti bersalah dengan tuntutan pencemaran nama baik dan di vonis dengan hukuman selama lima tahun. Namun hukuman tersebut tidak sesuai dengan apa yang di harapkan oleh sebagian masyarakat kala itu, hingga saat pembacaan vonis hukuman kepada Saleh kondisi di pengadilan tidak kondusif baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan pengadilan.
Massa yang berkumpul kala itu mengharapkan hukuman yang seberat-beratnya di jatuhkan ke Saleh karena selain dianggap telah mencoret nama baik salah satu ulama besar dia juga telah membawa kesesatan terhadap agama Islam. Massa yang kecewa dengan vonis yang di sampaikan hakim pengadilan mencoba masuk kedalam gedung pengadilan dan ingin menghakimi Saleh langsung dengan pengeroyokan massal. Salah satu saksi mata yang berada di lokasi mengatakan “di sana massa sangat tidak terkendali mereka ingin menghakimi Saleh kalau bisa mereka ingin membakar saleh hidup-hidup yang penting Saleh harus mati”.
Namun dalam peristiwa tersebut terdapat beberapa kejanggalan di mana saat massa diluar gedung kejaksaan mulai ribut terdapat sebuah inseiden dimana gereja-gereja yang ada di sekiraran kota terbakar. Menurut keterangan cucu sugionoyang merpakan saksi pada kejadian tersebut proses pembakaran gereja itu tidak ada yang mengerti karena kejadian tersebut terjadi secara tiba-tiba dan menurut beliau massa pembakaran gereja sendiri sudah terorganisir buktinya pembakaran gereja tersebut terjadi dalam hari yang sama serta waktu yang bersamaan.
Trauma besar telah tertanam pada diri masyarakat Situbondo hingga kini, karenanya hanya sebagaian kecil masyarakat yang berani menceritakan kembali kejadian tersebut meskipun peristiwa tersebut telah lama terjadi. Masyarakat Situbondo beranggapan konflik pembakaran gereja sangatlah sensitif untuk di ingat maupun di ceritakan, trauma yang besar membuat masyarakat memilih diam ketimbang gamblang menceritakan peristiwa itu kepada orang lain apalagi orang yang berasal dari luar kota.
Beda Dengan Saya Sebagai Penulis yang Notabene saya Asli Warga Besuki Kabupaten Situbondo. Karena saya punya Prinsip akan Mengatakan Sebuah Kebenaran walaupun itu pahit untuk kita dengar. Apapun Resiko dan Konsekwensi nya. Dan Saya kira Seluruh Situbondo Faham Sifat dan karakter saya Sebagai EKO SITI JENAR.
Dan Saya sebagai Penulis Melihat dengan Mata Kepala Saya sendiri kejadian Mencekam di Tanah kelahiran saya ini. Walah kala itu Saya masih Kelas 1 SMA.
Yang mana Sebelum Kejadian Pembakaran Gereja dan Pertokoan milik Warga China di Besuki pada Sore hari. Kerusuhan berawal dari Kota Situbondo Terjadi pagi nya. saya kala itu sempat berada di Jalan Karang Asem Depan PN Situbondo Dimana Awal Mula Titik Letup Kejadian Tersebut. Yang Mana masih tak lekang dari ingatan saya.
Pagi hari, tanggal 10 Oktober 1996, suasana di Pengadilan Negeri Situbondo kala itu dipadati ratusan bahkan Ribuan orang. Mereka mengikuti pembacaan vonis terhadap pemuda bernama Saleh. Ia diadili atas kasus penodaan agama dan dituntut lima tahun penjara.
Dalam sidang sebelumnya pada 3 Oktober, Saleh membantah tuduhan penodaan agama. Sama seperti sidang dengan agenda vonis, ratusan orang menyaksikan. Media-media saat itu menulis massa datang dari Besuki, Panarukan, dan Asembagus. Suasana sempat tegang saat mereka melontarkan ekspresi menolak tuntutan lima tahun penjara kepada Saleh.
“Seusai sidang, teriakan ‘Bunuh Saleh’ terdengar. Massa berusaha mengeroyok Saleh, tapi diamankan puluhan petugas ke tahanan PN Situbondo,
Massa yang sudah kalap kemudian merusak pintu dan jendela tahanan. Sekitar 10 orang membongkar genteng, menjebol plafon, dan berhasil menghajar Saleh dalam sel,”
Persidangan yang menyedot perhatian itu membuat Komando Distrik Militer Situbondo, satuan ABRI (nama saat itu untuk TNI) di tingkat kabupaten, menurunkan Ratusan personel guna menjaga sidang pembacaan vonis. Hari itu hakim memutus Saleh bersalah dan menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara sesuai tuntutan jaksa. Massa tak puas. Meski begitu, suasana masih bisa dikendalikan oleh aparat keamanan.
Kericuhan baru pecah usai sidang. Massa melempari gedung pengadilan dengan batu. Aparat keamanan dari Kodim terdesak dan terpaksa mengungsikan Saleh lewat pintu belakang pengadilan.
massa yang tak terkendali” itu merusak pintu gerbang pengadilan. Mereka merusak mobil dan motor yang terparkir di halaman pengadilan. Lima unit bangunan dalam kompleks pengadilan dibakar.
Entah datang dari mana, terdengar teriakan bahwa Saleh dilarikan ke Gereja Bukit Sion. Massa bergerak ke sana. Tak lama kemudian gereja itu dilalap api. Sejak itu massa dilaporkan tak bisa dikendalikan dan aparat keamanan waktu itu benar – benar sangatlah kewalahan.
beberapa menit setelahnya. Massa mulai menyerbu dan membakar gedung-gedung lain di beberapa titik kota. Menyasar gereja, sejumlah sekolah Kristen, dan klenteng.
Seperti bangunan sekolah Katolik dan Gereja Maria Bintang Samudra dibakar. Di dekatnya, Gereja Kristen Jawi Wetan dan sekolah Kristen Immanuel pun tak luput jadi sasaran amuk massa.
Sebagian massa lalu menyisir gereja-gereja lain di Jalan Ahmad Yani. Beberapa rumah makan dan kompleks pertokoan Tanjungsari dirusak. Sementara di Kampung Mimba’an, massa membakar Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Bahtera Kasih sekaligus rumah pendetanya, menewaskan lima penghuni.
“Di dalam rumah itu tinggal pendeta Ishak Kristian, 71 tahun, isterinya Ribka Lena, 68 tahun, dan anaknya Elisabeth Kristian, 23 tahun,”Juga ada keponakan mereka, Nova Samuel dan Rita Karyawati, yang sedang magang pendeta. Mereka tak berani keluar dan akhirnya terbakar.”
Selepas amuk itu, konsentrasi massa terpecah: Menurut pengakuan saksi mata, sebagian massa melaju ke arah timur kota dengan tiga truk. Sebagian lain menyebar ke Jalan Argopuro dan pertokoan Mimba’an Baru di depan Terminal Situbondo. Di sana sebuah rumah biliar dan gedung bioskop dirusak.
Kekerasan di dalam Kota Situbondo ini baru bisa “dikendalikan” pada pada pukul 15.00 oleh tentara dari Batalyon Infanteri 514 yang dikerahkan dari Bondowoso, sekitar 1 jam perjalanan dari Situbondo. Namun hal itu cuma bertahan sejenak. Kerusuhan-kerusuhan lain menjalar ke beberapa kecamatan di sekitar Kota Situbondo, yaitu Besuki, Asembagus, Panarukan, dan Banyuputih. Massa mengincar sasaran yang sama: gereja dan Pertokoan milik Etnis China.
Paling Parah Terjadi Di Besuki yang Mana ada Kurang Lebih 7 Gereja Dan 1 Klenteng dan Puluhan Toko Besar di Bakar dan Dijarah oleh Massa. Walhasil BKO Dari 512 Rampal malang dan Satuan Brimob Polda Jatim pun dibuat Kewalahan dibuatnya.
Bahkan Kerusuhan di Kota Besuki kala itu terjadi sampai keesokan Hari nya yaitu hari Jum’at. Yang mana Selepas Shalat Jum’at Di Masjid Baiturrahman Besuki yang berada tepat di Barat alun alun Kota Besuki juga masih mencekam. Selama kurang lebih 1 Minggu Setelah Kejadian Pertama.
Setelah kejadian tersebut keesokan harinya intel dan jajaran kepolisisan resort Situbondo yang dibantu dengan kepolisisan daerah Jawa Timur menangkap beberapa tersangka yag dianggap sebagai pelaku maupun provokator dalam kejadian pembakaran tersebut. Beberapa orang diamankan untuk di mintai keterangan. Dalam beberapa minggu kota Situbondo belum kondusif beberapa daerah yang dianggap masih rawan dijaga oleh beberapa petugas kepolisian.
Nah Apabila kita menengok Setelah 26 Tahun Kejadian ini Saya Sebagai Menulis Menyimpulkan;
Dan dari beberapa sumber literatur yang berhasil saya himpun ,saya akan coba mendeskripsikan pasca-kerusuhan ini. Nilai apa saja yang dapat diambil dan dipelajari agar kejadian yang serupa tidak pernah ada lagi, hari ini, esok, dan selamanya.
Memanglah Rasa traumatik itu muncul terutama kepada anak-anak yang melihat dengan kepala sendiri kejadian tersebut. Karena sekolah juga kena amuk massa, dengan demikian anak-anak merasakan ketakutan.
Memanglah Benar Jika dilihat dalam 26 tahun terakhir ini, kita Sudah tidak menemukan berita-berita di televisi atau sejenisnya yang mengangkat Situbondo. Maksudnya mengangkat berita dalam hal kerusakan toleransi seperti yang terjadi 26 tahun silam ini.
Mereka sekarang sudah saling hidup damai dan berdampingan. Secara mereka sebelum kerusuhan ini terjadi sudah hidup harmoni, baik minoritas maupun mayoritas mereka saling berhubungan baik. Maka setelah kejadian ini terjadi, mereka cukup mudah untuk mengondusifkan keadaan walaupun dalam benak mereka terdapat rasa traumatik yang tidak bisa dihilangkan.
Dan Pasca-kerusuhan tersebut, gereja-gereja yang rusak diperbaiki dan dibangun beberapa yang baru. Sekolah-sekolah yang rusak demikian, diperbaiki agar kegiatan belajar mengajar kembali kondusif. Buku-buku yang terbakar juga, banyak bantuan berdatangan untuk membantu memulihkan keadaan. Masyarakat Kristen khususnya merasa takut hal tersebut terulang kembali.
Masyarakat non-Islam menganggap ini adalah ujian dari Tuhan, mereka tidak ada niatan sama sekali untuk balas dendam. Semuanya hidup bahagia kembali karena kerusuhan tersebut hanyalah akibat tangan tak bertanggung jawab yang memprovokatori dan memperkeruh agar massa marah kepada non-Islam. Pada kenyataannya, mereka seakan diadu domba. Mereka paham kalau mereka (masyarakat Islam) salah, tapi mereka juga paham mereka telah diadu domba untuk menghancurkan keharmonisan kehidupan beragama mereka.Kemudian, setelah kerusuhan terjadi, masyarakat Situbondo sering melaksanakan pertemuan antar agama untuk saling berdiskusi juga mediasi guna merekatkan kembali pascakerusuhan. Dari pertemuan tersebut terlihat ada kerjasama antar satu sama lain. Dari kerjasama itu akan muncul sikap saling menghargai dan gotong royong yang berdasarkan pada nilai toleransi. Pada intinya mereka baik Islam maupun non-Islam saling berusaha untuk mengembalikan keadaan seperti semula sebelum kerusuhan.
Kerjasama lain yang terlihat yaitu didapatnya Bazaar Ramadhan waktu itu Masyarakat non-Islam saling membantu menjual barang-barang kebutuhan pokok dengan harga terjangkau.
Semua pemimpin agama di Situbondo berbondong menjalin tali silaturahmi. Untuk sesama Kristen pun demikian, mereka beribadah tidak mengenal golongan lagi. Maksdunya, dahulu sebelum kejadian biasanya yang memiliki kekurangan finansial beribadah di waktu pagi, dan yang memiliki kecukupan finansial beribadah waktu sore. Setelah kejadian tersebut mereka beribadah sama-sama. Tidak melihat pangkat maupun strata sosial.
Tentang anti-Kristen dan anti-Tionghoa sendiri mereka tak melihat hal tersebut. orangorang Kristen dan Tionghoa tidak menganggap “tagar” tersebt ada dalam kehidupannya. Mereka menjalani kehidupan jauh lebih toleran semenjak kejadian. Mereka banyak mengambil pelajaran setelah kejadian tersebut. Untuk para kiai juga memiliki peran krusial, banyak kiai yang turut turun tangan memberi bantuan kepada korban.
Mereka juga tak segan untuk saling mendoakan meskipun berbeda agama. Mereka juga sudah memisahkan kehidupan politik dengan keseharian. Dari peristiwa inilah umat NU dan non-Islam semakin erat dari sebelum kerusuhan terjadi. Para petinggi agama, kiai, pondok pesantren, santri, pedagang, dan semua lapisan masyarakat Situbondo saling bersatu sehingga terciptalah integrasi sosial antar masyarakat.
Integrasi ini yang membawa Situbondo lebih toleran dari sebelum kerusuhan terjadi. Memang setiap kejadian memiliki hikmah dan nilai yang dapat diambil positifnya. Bukti inilah yang menjadikan Situbondo aman dan harmonis setelah 23 tahun kejadian pahit terjadi.
KESIMPULAN SAYA dari Paparan Panjang Sejarah diatas itu adalah;
Indonesia adalah negara multikultur yang memiliki keberagaman, baik budaya, bahasa, juga agama. Keberagaman ini yang menjadikan Indonesia memiliki nilai lebih juga sebagai bentuk kekayaan negara. Dari keberagaman agama ini akan muncul kebebasan beragama. Masyarakat Indonesia bebas untuk memeluk dan menjalankan keyakinannya. Walaupun saling berbeda keyakinan, itulah bentuk toleransi antar manusia. Namun jika toleransi tersebut dikoyak, maka akan terjadi kerusuhan atau kerusakan.
Salah satu kerusuhan yang pernah terjadi di Indonesia yang bermotifkan agama adalah Kerusuhan Situbondo tahun 1996 ini. Kerusuhan ini dipicu ketidakpuasan massa atas vonis Saleh yang telah mencemarkan nama baik kiai dan Islam.
Lalu Massa mengamuk hingga terjadilah kerusuhan. Kerusuhan ini lebih merugikan pihak non-Islam yaitu umat Kristen. Di sini juga terdapat anti-Kristen dan anti-Tionghoa yang mengakibatkan gereja-gerja, sekolah, hingga panti asuhan Kristen diamuk massa.
Toko-toko milih Tionghoa demikian. Motifnya terdapat isu bahwa Saleh ini diamankan di sebuah gereja, sehingga karena massa terprovokatori oleh oknum tidak bertanggung jawab, mereka merusak dan membumihanguskian gereja-gereja di berbagai daerah Di Ujung Barat Sampai Timur di Kabupaten Situbondo ini.
Bahkan terdapat keluarga pendeta yang meninggal akibat kerusuhan ini.Kerusuhan Situbondo ini ada yang mengatakan sebagai konspirasi politik yang ingin menjelekkan nama NU dan Gusdur. Gusdurpun turut turun untuk meminta maaf karena menyangkut namanya sebagai pimpinan NU kala itu.
Setelah kejadian, terutama setelah 26 tahun berlalu, mereka saat ini semakin menghargai toleransi. Pertemuan antar agama sering terjadi, kerjasama demikian. Dengan begitu mereka semakin paham akan nilai toleransi yang didapat. Beberapa dari mereka paham jikalau mereka yaitu Islam dan non-Islam diadu domba untuk kepentingan tertentu.
Pada akhirnya, setelah kejadian tersebut mereka lebih menghargai perbedaan di masyarakat karena sebelum kerusuhan terjadi mereka hidup dengan damai. Hingga muncul oknum tersebut yang memanfaatkan keadaan untuk mengoyak keharmonisan.
Nilai toleransi inilah yang membawa Situbondo mampu selama 26 tahun terakhir ini hidup saling berdampingan kembali dan sedikit demi sedikit menghilangkan trauma kerusuhan 26 Tahun lalu tersebut.
Walau Trauma atas kejadian tersebut masih menghantui masyarakat Situbondo hingga sekarang meskipun peristiwa tersebut telah berlalu, luka lama itu enggan untuk di buka kembali hingga kini mereka beranggapan biarlah peristiwa itu terjadi dan tak perlu diungkit-ungkit lagi karena ditakutkan menggugah rasa emosional yang sudah meredam dan biarlah kini masyarakat Situbondo hidup dalam kesejahteraan di tengah-tengah perbedaan yang ada.
Sekian Wassalam dan Semoga Bermanfaat dan Semoga Kita dapat Kembali Memetik Hikmah dan Pembelajaran atas Kejadian yang sama – sama tidak kita inginkan seperti 26 Tahun lalu Tersebut.
Penulis By: EKO FEBRIANTO. Ketua LSM SITI JENAR ( Situbondo Investigasi Jejak Kebenaran) yang Juga Pimpinan Perusahaan dan Redaksi Media Online dan Cetak Sitijenarnews.com Serta Headline-News. id
(Red/Tim-Biro Pusat Sitijenarnews dan Headline-News)