Headline-news-id Jakarta Rabu 29 Maret 2023: Dewan Pengawas (Dewas) menilai, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai sejauh ini masih sesuai jalur.
Namun, Dewas menyebut pengungkapan kasus-kasus rasuah yang besar atau dikenal dengan istilah ‘the big fish’ jumlahnya cenderung sedikit.
“Sayangnya, kita belum berhasil mengungkap kasus-kasus yang besar, kasus-kasus yang kita beri nama dulu ‘the big fish’. Itu jarang terjadi dilakukan oleh KPK,” kata Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, dalam video yang diunggah dalam kanal Youtube KPK RI, yang mereka tayangkan pada Senin (27/3) Kemarin.
Tumpak mengatakan, sebagian besar kasus yang ditangani oleh KPK berupa suap terhadap pejabat.
Tetapi disisi lain, menurut dia, lembaga antirasuah ini juga dinilai berhasil menjalankan kedeputian di bidang pencegahan dan penindakan korupsi.
Kita lebih banyak kasus yang sifatnya OTT (operasi tangkap tangan), yaitu dalam rangka penyuapan-penyuapan aparatur penyelenggara negara, kita lebih banyak fokusnya ke situ,” ujar Tumpak.
Di sisi lain, menurut dia, secara umum, masyarakat menaruh kepercayaan pada KPK dalam hal pemberantasan korupsi. Walaupun begitu, kasus-kasus yang ditangani bukanlah perkara besar.
“Cuma sayangnya itu, ya, saya bilang kita kurang bisa membongkar kasus-kasus yang sifatnya besar, karena kita mesti tahu juga bahwa kegiatan KPK itu harusnya terasa menyejahterakan masyarakat banyak, ada yang dirasa oleh publik,” ujar dia.
Tumpak pun berharap agar KPK ke depannya dapat mengungkap kasus korupsi yang lebih besar. Sehingga kepercayaan publik terhadap KPK bisa terus terjaga.
“Harapan saya sebetulnya kita harus berani lah mengungkap kasus-kasus besar yang menarik perhatian masyarakat, yang bisa dirasakan oleh masyarakat manfaatnya,” ujar dia.
Selain itu, Tumpak juga mengharapkan agar kinerja KPK tidak kalah dengan Kejaksaan Agung (Kejagung), yang dinilai lebih banyak menangani kasus besar.
Menurut dia, KPK juga memiliki kemampuan dan kualitas yang memadai untuk mengungkap kasus ‘the big fish’.
“Menurut saya (KPK) harusnya bisa seperti yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung itu,” kata Tumpak.
Sementara Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menilai, tidak adanya kasus besar yang diungkap KPK lantaran lembaga antirasuah tersebut lebih fokus melakukan OTT.
“KPK hanya fokus tentang OTT, pasal yang diterapkan Pasal 5 tentang suap, Pasal 11 gratifikasi, dan Pasal 12 juga penerimaan hadiah juga pemerasan,” kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman.
Boyamin mengatakan, kasus dari OTT biasanya berkaitan dengan penerimaan suap atau gratifikasi.
Menurut dia, proses hukum yang dilakukan cenderung mudah karena KPK hanya perlu membuat bukti.
“Jadi, mau mengincar orang kalau nggak jadi diberikan uangnya kan nggak jadi ada bukti bahwa terjadi adanya suap. Jadi ini sesuatu yang (istilahnya) membuat bukti, jadi gampang,” ujar Boyamin.
Sementara Korps Adhyaksa, dikatakan Boyamin, lebih fokus pada penanganan perkara dengan penerapan pasal kerugian negara, yakni Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi.
Dia menyatakan, pencarian bukti dalam penerapan dua pasal ini lebih sulit dibandingkan dengan kasus suap.
Sebab, menurut dia, Kejagung harus mencari perbuatan melawan hukum yang sudah terjadi sebelumnya.
“Kalau Pasal 2 dan Pasal 3 ini adalah mencari bukti dan menemukan bukti, karena apa? Korupsinya sudah terjadi, bisa jadi lima tahun yang lalu, 12 tahun yang lalu, kemudian harus menemukan dan mencari alat bukti. Otomatis dengan demikian, ketika Kejaksaan Agung itu fokus dan konsentrasi di situ maka lama-lama dia akan pasti menemukan ikan besar, dan itu terbukti,” kata Boyamin menjelaskan.
Survei Indikator Politik Indonesia menempatkan Kejagung sebagai lembaga penegakan hukum yang paling dipercaya saat ini.
Survei sepanjang periode Februari-Maret 2023 itu menghasilkan tingkat kepercayaan publik terhadap Korps Adhyaksa, mencapai 72,6 persen. Pun itu belum menghitung 7,4 persen masyarakat Indonesia yang sangat percaya.
Dari presentasi hasil survei yang disampaikan Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi, Kejagung di posisi teratas di antara empat lembaga penegak hukum yang menjadi objek sigi.
“Tingkat kepercayaan terhadap lembaga dalam penegakan hukum hanya 16,2 persen yang kurang percaya dengan Kejaksaan Agung,” kata Burhanuddin.
Di bawah Kejagung, di urutan kedua lembaga pengadilan mendapatkan tingkat kepercayaan publik hanya 68,5 persen, dan 20 persen menyatakan kurang percaya dengan lembaga yudikatif tersebut.
Sementara kepercayaan terhadap KPK terus merosot. Dari hasil survei yang sama, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK dalam penegakan hukum saat ini cuma 65,1 persen, dan 23,6 persen kurang percaya.
Menyusul Kepolisian di posisi keempat paling buncit sebagai lembaga penegakan hukum dengan tingkat kepercayaan 59,8 persen, dan angka kurang percaya 27,7 persen.
(Red/Tim-Biro Pusat Sitjenarnews dan Headline-news)