Headline-news-id Jakarta Kamis 23 Februari 2023: Polri akhirnya memutuskan untuk mempertahankan status kepolisian Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu, setelah divonis 1,5 tahun dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat.
“Terduga pelanggar masih dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri,” kata Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan seusai sidang komisi etik di Gedung Mabes Polri, Jakarta, Rabu (22/02).
Meski demikian, sambung Ramadhan, komisi sidang tetap menjatuhkan sanksi etika terhadap Richard Eliezer berupa demosi selama satu tahun.
“Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela. Kewajiban pelanggar meminta maaf secara lisan dihadapan sidang KKEP dam secara tertulis kepada pimpinan Polri. Sanksi administratif yaitu mutasi bersifat demosi selama satu tahun,” ujar Ramadhan.
Ramadhan memaparkan bahwa komisi sidang etik mempertimbangkan bahwa Richard Eliezer menjadi justice collaborator dengan turut mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa pembunuhan Brigadir Yoshua.
Sebelumnya, Bharada Richard Eliezer divonis hukuman penjara selama 1,5 tahun dalam sidang kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (15/2).
Majelis hakim menyatakan Eliezer terbukti turut serta melakukan pembunuhan berencana, namun hakim juga menetapkan Eliezer sebagai saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam pengungkapan kasus ini.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan,” kata Ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso.
Selain statusnya sebagai justice collaborator, hakim berpendapat ada sejumlah hal yang meringankan vonis Eliezer antara lain yakni bahwa Eliezer telah menyesali perbuatannya dan keluarga Yoshua telah memaafkan perbuatan Eliezer.
Sedangkan hal yang memberatkan dalam vonis Eliezer adalah Richard dianggap tidak menghargai hubungan baik dengan Yoshua.
Putusan hakim itu disambut oleh tangisan lega dari Eliezer yang duduk di ruang sidang, serta oleh kedua orang tuanya yang menyaksikan siaran langsung sidang dari Bintaro, Jakarta Selatan.
Eliezer, yang merupakan eksekutor yang menembak Yoshua, menjadi satu-satunya terdakwa yang divonis lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Sebelumnya, dia dituntut hukuman 12 tahun penjara oleh jaksa.
Diketahui,Menkopolhukkam Mahfud MD, yang mengikuti persidangan vonis Eliezer melalui siaran langsung televisi, mengatakan putusan ini “sangat logis”, “berkemanusiaan”, serta “progresif”.
Dalam Youtube resmi Kemenko Polhukam, Mahfud menyebut majelis hakim perkara Eliezer “tidak terpengaruh oleh opini publik, tetapi dia memperhatikan publik common sense.”
Konstruksi putusannya sangat bagus, ilmiah, tidak jadul (jaman dahulu)… modern, bisa dipahami, dan sulit untuk dibantah perspektif yang digunakan, dan narasinya juga modern,” kata Mahfud.
Di akhir keterangannya, Mahfud menegaskan, dirinya tidak ingin mempengaruhi proses persidangan berikutnya.
Sebelumnya juga diberitakan oleh Media Sitjenarnews dan Headline-news, vonis hakim untuk sejumlah terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua lebih tinggi dari tuntutan jaksa.
Ferdy Sambo divonis hukuman mati dan Putri Candrawathi dihukum 20 tahun penjara.
Adapun Ricky Rizal divonis 13 tahun penjara dan Kuat Ma’ruf 15 tahun penjara.
Dalam sidang pembacaan putusan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), hakim menjatuhkan vonis 13 tahun penjara untuk terdakwa Ricky Rizal Wibowo karena dinyatakan “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana”.
Ajudan Ferdy Sambo itu dinyatakan terbukti melanggar pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kuasa hukum Ricky Rizal mengatakan “fakta-fakta persidangan yang disampaikan hakim, tidak sesuai dengan fakta-fakta versi kubunya”, kata Erman Umar.
Namun, dia mengatakan tetap menghargai keputusan hakim dan “akan mengajukan banding”.
Pada sidang sebelumnya, Kuat Ma’ruf divonis 15 tahun penjara karena terbukti turut serta melakukan pembunuhan berencana Yosua.
Kuat Ma’ruf dinyatakan melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Hakim mengatakan “tidak ditemukan alasan pembenar dan alasan pemaaf atas diri terdakwa”.
Usai persidangan, Kuat mengatakan tidak menerima vonis hakim tersebut dan akan mengajukan “banding“.
Saya tidak membunuh dan saya tidak [melakukan pembunuhan] berencana,” kata Kuat di depan awak media, Selasa (14/02).
Sama seperti Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, vonis hakim untuk Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf juga lebih tinggi dari tuntutan jaksa, yaitu delapan tahun.
Ferdy Sambo divonis hukuman mati oleh hakim. Sebelumnya dia dituntut hukuman penjara seumur hidup.
Istrinya, Putri Candrawathi, divonis 20 tahun penjara – jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa yaitu 8 tahun.
Kuasa hukum Ferdy dan Putri mengatakan pertimbangan hakim “banyak berupa asumsi” namun tetap menghormati putusan. Mereka menyebut akan ada upaya hukum selanjutnya.
Seorang pakar hukum pidana menyoroti motif pembunuhan yang belum jelas.
Satu terdakwa lagi, Richard Eliezer, akan menjalani sidang putusan pada Rabu (15/02). Eliezer, yang disebut eksekutor dalam pembunuhan Yosua, dituntut 12 tahun penjara oleh jaksa.
Tuntutan itu memicu kontroversi karena Eliezer memiliki status sebagai justice collaborator.
Terdakwa Ferdy Sambo S.H. S.I.K. M.H telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya, yang dilakukan secara bersama-sama.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana mati,” kata Hakim Ketua Wahyu Iman Santosa di PN Jakarta Selatan, Senin (13/02). Putusan tersebut disambut riuh hadirin di ruang sidang.
Vonis tersebut lebih berat dari tuntutan JPU. Sebelumnya, Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup.
Hakim Ketua Wahyu Iman Santosa membacakan hal-hal yang dianggap memberatkan Ferdy, antara lain: perbuatan dilakukan kepada ajudan sendiri, perbuatan mengakibatkan luka yang mendalam kepada keluarga Yosua, perbuatan telah menimbulkan keresahan dan kegaduhan yang meluas di masyarakat.
Majelis hakim juga menilai perbuatan Ferdy tidak sepantasnya dilakukan sebagai aparat penegak hukum dan pejabat utama Polri yaitu Kadiv Propam Polri serta telah mencoreng institusi Polri di mata masyarakat Indonesia dan dunia internasional.
Selain itu menurut majelis hakim, Ferdy “berbelit-belit saat memberikan keterangan di persidangan dan tidak mengakui perbuatannya”.
Majelis hakim menilai tidak ada hal yang meringankan hukuman Ferdy.
(Red/Tim-Biro Pusat Headline-news)