Situbondo, 5 Juli 2025 — Proyek pembangunan bronjong di aliran Sungai Avor, Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, Kabupaten Situbondo, tengah menjadi sorotan tajam. Masyarakat mempertanyakan legalitas proyek yang dinaungi oleh Bidang Sumber Daya Alam (SDA) Dinas PU Provinsi Jawa Timur ini, terutama terkait penggunaan material urugan yang diduga berasal dari tambang ilegal.
Menurut informasi lapangan, sebagian besar material proyek tersebut disinyalir bersumber dari galian C di Desa Kilensari, Kecamatan Panarukan—lokasi yang diduga menyimpang dari izin yang berlaku. Fakta ini menambah daftar panjang pelanggaran yang terjadi di balik proyek normalisasi yang semestinya mendukung konservasi lingkungan.

Material Normalisasi Dijual Bebas, Lahan proaktif Dialihfungsikan
Ironisnya, material hasil pengerukan sungai yang seharusnya dimusnahkan atau digunakan untuk kepentingan konservatif justru diperjualbelikan secara bebas dengan harga berkisar Rp200.000 hingga Rp260.000 per rit. Material ini kemudian digunakan untuk menimbun lahan pertanian produktif, yang kemudian dialihfungsikan menjadi bangunan komersial seperti gudang dan perumahan.
Tindakan tersebut secara nyata melanggar Perda Kabupaten Situbondo Nomor 4 Tahun 2020 tentang Cadangan Pangan, yang menegaskan perlindungan terhadap lahan pertanian demi menjaga ketahanan pangan jangka panjang.
Alasan Sosial Diduga Jadi Kedok Jual Beli Material
Ketika dikonfirmasi, pihak PU Provinsi mengaku tidak pernah menjual material normalisasi kepada pihak manapun. Namun, berdasarkan penelusuran media, transaksi jual beli tetap terjadi di lapangan. Beberapa pihak berdalih bahwa material digunakan untuk keperluan sosial seperti pembangunan masjid, namun fakta di lapangan menunjukkan praktik komersialisasi tetap berlangsung, dengan alasan mengganti biaya dump truck pengangkut.
Padahal, berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, segala bentuk pertambangan dan distribusi material tanpa izin yang sah termasuk tindakan pidana.
Ketahanan Pangan dan Tata Ruang Terancam
Alih fungsi lahan pertanian secara masif tanpa kontrol memperparah persoalan tata ruang dan mengancam ketersediaan pangan di masa depan. Peraturan daerah yang semestinya menjadi tameng, justru terlihat diabaikan. Pengawasan dari pemerintah daerah terkesan lemah, bahkan nyaris tidak tampak.
Dampaknya bukan hanya menyasar aspek lingkungan, tapi juga ekonomi masyarakat kecil—terutama petani—yang kehilangan lahan garapan mereka karena kepentingan pihak-pihak tertentu.
Desakan Publik: Tegakkan Hukum, Audit Proyek Secara Menyeluruh
Masyarakat dan aktivis lingkungan kini mendesak aparat penegak hukum (APH) serta Pemerintah Kabupaten Situbondo untuk bertindak cepat dan tegas. Audit menyeluruh harus dilakukan terhadap proyek Sungai Avor, mulai dari sumber material, pelaksanaan proyek, hingga peruntukan lahan.
Jika penegakan hukum terus diabaikan, proyek serupa berpotensi kembali terjadi, memperburuk kerusakan lingkungan dan menciptakan ketidakadilan struktural di tingkat masyarakat bawah.
“Pembangunan seharusnya membawa manfaat, bukan menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup masyarakat dan lingkungan,” tegas salah satu tokoh masyarakat dalam wawancaranya kepada media.