Wamen Rangkap Komisaris BUMN: Saat Kuasa Dijadikan Ladang Pribadi

Headline-news.id Jakarta, Minggu 22 Juni 2025 — Satu demi satu potret ketimpangan semakin terang-benderang di negeri yang menjunjung tinggi keadilan sosial. Saat jutaan rakyat Indonesia mengular dalam antrean job fair, berebut pekerjaan sebagai penjaga toko, buruh pabrik, atau pengemudi ojek daring demi sesuap nasi, puluhan pejabat negara justru antre menumpuk jabatan. Ironi ini semakin memuncak dengan terungkapnya fakta bahwa setidaknya 25 wakil menteri (wamen) di kabinet saat ini merangkap sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Lebih dari sekadar kontroversi administratif, fenomena ini memperlihatkan wajah asli sistem kekuasaan yang makin menjauh dari semangat Pancasila. Jabatan bukan lagi amanah untuk melayani rakyat, melainkan kendaraan untuk mengamankan pengaruh, fasilitas, dan penghasilan berlapis-lapis.

Rakyat Berebut Kerja, Pejabat Berebut Jabatan:

Di tengah gelombang pengangguran dan kesenjangan ekonomi, para sarjana muda bersaing ketat untuk pekerjaan kasar yang bahkan tidak menjamin masa depan. Sementara itu, para elite politik justru memanen kekuasaan ganda: satu kursi di kementerian, satu lagi di ruang rapat komisaris BUMN. Gaji dobel, tunjangan berlipat, kuasa tak terbatas. Negeri ini sedang mempertontonkan kontradiksi sosial: rakyat bertahan hidup, elite berburu kekayaan melalui jabatan.

Bertentangan dengan Semangat Reformasi:

Pemerintah berdalih tidak ada pelanggaran hukum karena undang-undang hanya melarang menteri, bukan wakil menteri, merangkap jabatan. Namun, argumen legal semacam ini gagal menjawab kegelisahan moral dan etik publik. Apakah benar jabatan publik boleh dijadikan tempat berteduh dari konflik kepentingan hanya karena celah hukum memungkinkan?

Seorang wakil menteri, dengan peran strategis membantu presiden dalam kebijakan negara, seharusnya bekerja penuh waktu. Ketika ia merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN — lembaga yang semestinya diawasi secara independen — maka yang terjadi adalah tabrakan peran antara regulator dan entitas bisnis. Ini adalah bentuk penyalahgunaan sistemik yang berpotensi merusak integritas tata kelola negara dan perusahaan milik rakyat.

Baca juga:  Nama dan Foto Putrinya Dicatut untuk Modus Donasi, Ketum LSM Siti Jenar Geram dan Langsung Angkat Bicara

Suara Tegas dari Wakil Rakyat:

Kritik keras datang dari Nashim Khan, anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Legislator asal Situbondo, Jawa Timur ini menegaskan bahwa praktik rangkap jabatan oleh wakil menteri jelas bertentangan dengan semangat Undang-Undang Pelayanan Publik dan Undang-Undang Kementerian Negara, yang menegaskan bahwa pejabat negara tidak boleh merangkap jabatan lain di luar lembaga negara yang relevan.

“Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal etika kekuasaan. Komisaris seharusnya mengawasi, bukan diisi oleh mereka yang juga memegang kuasa atas kebijakan BUMN,” tegas Nashim Khan.

Menurutnya, jika fungsi pengawasan dijalankan oleh mereka yang memiliki keterkaitan langsung dengan kementerian, maka BUMN kehilangan independensinya sebagai perusahaan negara yang sehat dan profesional.

Kesejahteraan Rakyat Vs Kenyamanan Elite:

Sementara pejabat hidup dalam kenyamanan berlapis-lapis, data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024 menunjukkan bahwa 40 persen kelompok masyarakat terbawah hanya menguasai 18,41 persen pengeluaran nasional. Bahkan lebih rendah di wilayah perkotaan, yaitu 17,44 persen. Ketimpangan ini bukan sekadar angka, melainkan simbol bahwa kekayaan nasional dikuasai oleh segelintir kelompok elite, salah satunya melalui jalur jabatan yang dilanggengkan oleh sistem.

Negara seolah menormalisasi ketidakadilan, dan ketika ketidakadilan dianggap biasa, maka yang terjadi bukan lagi krisis ekonomi semata, melainkan krisis keteladanan dan krisis nilai dalam kekuasaan.

Legal Tapi Tak Bermoral:

Memang, tak semua pejabat yang merangkap jabatan itu melanggar hukum. Tapi publik tahu, tidak semua yang legal berarti etis. Dalam prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), integritas justru diuji saat kekuasaan berada dalam genggaman. Ketika elite bisa mengambil dua gaji, dua jabatan, dan dua fasilitas, sementara rakyat memohon satu pekerjaan pun sulit — di situlah pangkal pengkhianatan terhadap sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca juga:  Banyaknya Kejanggalan dan Kurangnya Transparansi Proyek yang Bersumber dari APBD di Desa Semiring Mangaran Kini Jadi sorotan

Arah Reformasi atau Permisifnya Kekuasaan?

Pembiaran terhadap praktik ini tidak hanya melemahkan etika birokrasi, tapi juga membuka jalan lahirnya budaya kekuasaan baru: permisif, transaksional, dan jauh dari pengabdian. BUMN, yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian rakyat, justru menjadi ladang balas budi politik dan perebutan kursi elite.

“Selama etika dikalahkan oleh celah hukum, maka pelanggaran berikutnya hanya tinggal menunggu waktu,” pungkas Nashim Khan.

Saatnya Negara Membatasi, Bukan Melegalkan Ketimpangan:

Rangkap jabatan bukan sekadar kebijakan teknis ini adalah simbol dari bagaimana negara memperlakukan rakyatnya. Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin membangun tata kelola yang bersih, profesional, dan adil, maka pembatasan tegas terhadap rangkap jabatan harus menjadi prioritas.

Keterangan fhoto: Nashim Khan, anggota DPR RI Komisi VI dari Fraksi PKB

Jika tidak, maka negeri ini akan terus dikuasai oleh mereka yang duduk di dua kursi satu untuk kekuasaan, satu lagi untuk keuntungan pribadi — sementara rakyat dibiarkan berdiri dalam antrean panjang, memohon satu kesempatan hidup.

(Redaksi | Tim Biro Pusat Sitijenarnews Group)

banner 970250
error: