Runtuhnya Atap Gedung Asrama Putri Di Salah Satu Pesantren di Besuki Timpa Belasan Santri: Cermin Kelalaian Struktural yang Terus Berulang

Headline-news.id Situbondo, Jawa Timur Rabu 29 Oktober 2025: Musibah ambruknya salah satu bangunan di lingkungan Pondok Pesantren Syeh Abdul Qodir Jailani, Kecamatan Besuki, Situbondo, yang mengakibatkan 1 Orang Meninggal dan Belasan lainnya terluka Hari ini,kembali membuka luka lama tentang lemahnya tata kelola pembangunan sarana keagamaan di Indonesia. Peristiwa memilukan yang terjadi menjadi tamparan keras bahwa tragedi serupa belum banyak memberi pelajaran berarti.

Keterangan fhoto: Suasana Korban Luka Di Rumah Sakit Siang ini

Meski aparat dan berbagai unsur pemerintahan juga tampak hadir hari ini setelah kejadian untuk memberikan bantuan dan ucapan belasungkawa, publik tak bisa menutup mata: tragedi semacam ini bukan sekadar “musibah alamiah”, tetapi hasil dari kelalaian sistemik yang terus dinormalisasi.

Kasus runtuhnya bangunan dalam lingkungan pesantren ini sontak menjadi perhatian publik, terutama setelah beberapa waktu lalu juga terjadi tragedi serupa di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, yang menelan korban jiwa hingga 67 orang. Dua kejadian ini memperlihatkan pola yang sama: lemahnya sistem perizinan, pengawasan, dan akuntabilitas dalam pembangunan fasilitas pendidikan berbasis keagamaan.

Tragedi di Al-Khoziny bukan semata kesalahan teknis, melainkan puncak dari berlapis-lapis kelalaian struktural sebuah bentuk kekerasan yang tidak dihasilkan oleh senjata, tetapi oleh struktur sosial dan birokrasi yang membiarkan masyarakat gagal mendapatkan hak dasarnya: yaitu keselamatan.

Dalam konteks pembangunan pesantren, hak dasar itu mencakup izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), pengawasan konstruksi yang memadai, dan perlindungan pekerja bangunan.

Tanpa adanya sistem dasar tersebut, praktik kecurangan menjadi hal lumrah mulai dari manipulasi dokumen PBG, penggunaan material di bawah standar, hingga eksploitasi pekerja konstruksi dengan upah rendah dan tanpa perlindungan keselamatan kerja.

Hasilnya adalah gedung-gedung yang tampak megah dari luar, tetapi rapuh secara struktural.

Baca juga:  Di Duga Proyek Siluman Tidak Sesuai Speck, Di wilaya Jalan pantura Saletreng, Kabupaten Situbondo

Kenyataannya, banyak pesantren di Indonesia berdiri dan berkembang berkat gotong royong serta donasi umat. Semangat kemandirian ini sering kali berhadapan dengan realitas mahalnya biaya pembangunan dan birokrasi yang berbelit. Maka, tak jarang pengelola pesantren terpaksa memilih jalan pintas: menghemat material atau memotong biaya jasa.

Keterangan Fhoto: Suasana Kesedihan tampak pada keluarga yang datang ke Ponpes siang ini

Padahal, menurut data Kementerian PUPR yang dikutip dari pernyataan Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggono, dari lebih dari 41.000 pesantren di Indonesia, hanya 52 yang mengantongi izin PBG.

Angka ini sungguh mencengangkan, sekaligus mengindikasikan bahwa ribuan bangunan pesantren lainnya beroperasi dalam status abu-abu: tanpa sertifikasi keamanan bangunan yang sah.

Pelanggaran administratif seperti ini seharusnya bisa ditindak dengan sanksi tegas, baik secara hukum maupun etik, terlebih bila telah menimbulkan korban jiwa. Namun yang kerap terjadi adalah sebaliknya:

ketika bangunan ambruk, barulah pejabat datang membawa belasungkawa, meninjau lokasi, dan berjanji akan melakukan evaluasi.Padahal, tugas utama negara adalah mencegah, bukan sekadar menanggapi.

Permasalahan menjadi semakin rumit ketika pembangunan dilakukan di atas tanah wakaf, yang mengharuskan pengelola mengurus berbagai dokumen tambahan. Prosedur ini sering dimanfaatkan oleh oknum birokrasi sebagai ladang pungutan liar (pungli), menambah panjang daftar hambatan bagi pesantren kecil yang bergantung pada uluran tangan masyarakat.

Kita kemudian dihadapkan pada situasi yang ironis:

institusi keagamaan yang seharusnya menjadi pusat pembinaan moral dan spiritual justru terjebak dalam sistem pembangunan yang rawan penyimpangan.

Negara, yang seharusnya hadir sebagai pengawas dan pelindung, malah sering berperan hanya sebagai penonton pasca-tragedi.

Tragedi di Besuki dan Sidoarjo bukan sekadar peristiwa lokal. Ini adalah potret buram dari sistem yang gagal belajar dari kesalahan.

Selama kita masih menganggap runtuhnya gedung sebagai kecelakaan semata, bukan akibat dari keputusan politik dan birokrasi yang lalai, maka bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk terulang.

Baca juga:  Ketua LPK Tapal Kuda Geram Terkait Pelaporan Sampai Saat ini Belum Ada Respon Dari Pihak Kejaksaan Situbondo.

Bangunan yang runtuh bukan hanya dinding dan atap yang roboh, tetapi juga simbol dari runtuhnya tanggung jawab moral dan institusional terhadap keselamatan publik.

Keterangan Fhoto: PP Syeh Abdul Qodir Jailani Ra Blimbing Besuki Situbondo.

Dan selama sistem yang seharusnya melindungi justru menjadi sumber bahaya, tragedi seperti di Besuki dan Al-Khoziny akan terus menghantui dunia pendidikan pesantren di Indonesia.

(Redaksi/Tim Biro Siti Jenar Group Multimedia Situbondo, Jatim)

banner 970250
error: